udara di Kota Bogor pada seminggu belakangan ini bisa dibilang cukup bersahabat, dalam arti yang sesungguhnya. Bogor menunjukkan tanda-tanda untuk kembali ke tabiat lamanya sebagai Kota Hujan, julukannya. Hal ini tentu kontras dengan hari pertama saya menginjakkan kaki disini, 2 minggu yang lalu. Hampir saya tak dapat membedakan kota ini dengan Jakarta, atau Surabaya, panas dan macet. tapi, mungkin, inilah sebentuk fakta yang tak dapat dinegasikan dari sebuah laju perubahan.
diluar itu, saya cukup kerasan untuk berada di Kota Bogor. bertemu sahabat-sahabat yang sebelumnya hanya saling sapa di twitland, mencicipi masakan-masakan khas Bogor dan, tentunya, membiasakan diri untuk hidup mandiri setelah sekian lama segala kebutuhan sehari-hari tercukupi oleh belaian istri.
perubahan...
sejujurnya saya sangat benci dengan kata ini. benci sekali. coba kita ingat-ingat kembali ke masa 98 dimana kran reformasi dibuka. berbagai ilusi menjejali setiap jengkal pikiran rakyat Indonesia akan adanya sebuah zaman dimana kemakmuran dapat dirasakan secara merata. hiruk pikuk pekik kemenangan membahana di setiap sudut kota saat Pak Harto membacakan naskah pengunduran dirinya. seolah hari itu adalah pintu terakhir penderitaan.
faktanya...
perubahan yang didengungkan itu tak lebih dari pemerataan penderitaan. setidaknya itulah saat saya membaca beberapa tag line humor yang bertuliskan "piye le, enakan jamanku tho.. (gimana nak, enakan zamanku kan..)" dimana foto Pak Harto melambaikan tangan sambil tersenyum menjadi backgroundnya.
ok.
saya tak hendak membahas carut marut politik berikut intrik yang terjadi di seputaran kekuasaan republik ini. biarlah beliau-beliau yang merasa bisa urus negara ini yang membahasnya.
------
suatu ketika, saya pernah punya seorang sahabat (setidaknya demikian yang saya rasa, entah dirinya). dulu, kemana-mana saya selalu bersama sahabat saya itu. bahkan saking lekatnya, setiap persoalan yang saya hadapi pasti saya ceritakan ke dia. intinya, tak ada satu sisi dari diri saya ini yang tak dia ketahui.
saya bukanlah orang yang mudah bersahabat.
tapi ketika saya sudah menjadikan seseorang itu sahabat, maka saya akan all out untuk memperjuangkan persahabatan itu. sebab impian saya sejak kecil adalah memiliki sahabat sejati. bahkan, kadang, dalam imajinasi saya, sulit untuk dibedakan mana sahabat sejati dan cinta sejati. bagi saya sahabat sejati adalah cinta sejati saya. juga sebaliknya. itu sebabnya hingga saat ini, saya hanya punya sedikit sahabat sejati.
ini tak lepas dari kejadian buruk yang saya alami sewaktu masih kanak-kanak dulu.
saya terkena penyakit kulit akut. hingga para tetangga melarang anaknya untuk bermain dengan saya. takut ketularan. sedih? sangat!
arti teman bagi anak-anak itu melebihi segudang mainan yang ia miliki.
beruntung orang tua saya tergolong mampu. sehingga dapat membelikan segudang mainan baru setiap hari, hingga 2 kamar tidur di rumah saya penuh dengan mainan. tapi mainan tak bisa diajak berpetualang. sedang saya laki-laki yang butuh sedikit tantangan.
waktu berjalan...
hingga dewasa, saya lebih suka menghabiskan waktu untuk membaca. saya merasa di dunia itu tak pernah ada duka. tapi saya sadar sepenuhnya, bahwa saya juga butuh dunia nyata.
itu sebabnya saya tergabung dalam berbagai organisasi. tak jarang dari itu saya dipercaya menjadi Ketua. sebutlah saat mahasiswa, saya menjadi Ketua Umum BEM Universitas Negeri Malang. atau di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
teman saya banyak. banyak sekali. tapi dari sekian banyak itu hanya segelintir yang jadi sahabat karib. karena rata-rata, teman saya itu mengalami perubahan saat menyaksikan pasang - surut kehidupan saya.
dan itu saya tidak suka.
-----
manusia hidup dengan orang lain itu dapat dimaknai bahwa didalamnya (mungkin) akan terdapat hal-hal yang tidak kita inginkan.
misal..
digunjingkan..
itu adalah hal yang tak dapat dinegasikan manakala kita hidup bermasyarakat. apapun yang kita lakukan, entah itu baik ataupun buruk, pasti takkan lepas dari sorotan.
saat kita berbuat buruk, ada saja orang yang menggunjingkan. bahkan saat kita berbuat baik pun, ada saja orang yang dengan kejam menggunjingkan.
inilah hidup..
lalu bagaimana sikap kita seharusnya dalam menghadapi hal sedemikian?
go ahead!
kalau semua hal yang akan kita lakukan, batal, hanya gara-gara takut digunjingkan orang, ya selamanya kita tak akan pernah berbuat apa-apa. biarkan saja orang mau ngomong apa tentang kita.
tapi harap dicatat ya..
tidak perduli omongan orang itu BEDA dengan tidak perduli pada lingkungan. itu dua hal yang berbeda.
kita boleh tak perduli pada omongan orang, tapi kita tetap harus peduli dengan lingkungan. setidaknya, milikilah empati terhadap lingkungan. tetaplah bertegur sapa dengan tetangga, meski mereka terus menatapmu dengan penuh curiga.
kembali ke perubahan..
kenapa saya begitu membenci kata itu?
saya tidak alergi, saya sadar, diri saya pun mengalami perubahan. dulu penjual koran, sekarang tidak lagi. itu adalah bagian dari perubahan.
yang saya benci adalah perubahan sikap yang berkaitan dengan kemerdekaan diri. hanya karena tak ingin ada pandangan miring, lalu menjauhi segala hal yang membuat pandangan itu lenyap. meski itu tak otomatis membuatnya menjadi manusia paling sempurna.
misal..
kita biasa pergi makan bersama teman.
hanya karena teman itu pernah berbuat kesalahan, dan ia tak ingin namanya ikut tercoreng, lalu kebiasaan itu ditinggalkan.
apa ini yang disebut dengan perubahan?
apa ini yang dinamakan dengan kemerdekaan?
well... jika demikian, sepenuh hati saya akan melawan. dan sepertinya saya harus memperpanjang masa kebencian saya terhadap kata perubahan. sebab mimpi saya dari kecil adalah memiliki sahabat sejati, dan saya berjuang untuk mewujudkannya menjadi kenyataan tanpa harus mengorbankan kemerdekaan diri.
- sekian -
tulisan saya ini akan dimuat pada pojok redaksi Majalah Planner edisi Juli 2013.